I'm done being high and dry


Awal tahun kemarin aku jatuh hati dengan seseorang dan hari ini aku mempertanyakan apakah lebih baik berteman aja dengan pria ini. Lucu ya, betapa cepatnya hati ini bisa berubah.

Di satu sisi aku lega logika ku sudah kembali mencuat, naik ke permukaan laut endorfin yang perlahan surut. Realitasnya, pasang yang surut menunjukkan kotornya pantai hatiku. Banyak sisa-sisa sampah dari masa lalu; ngerasa nggak layak dapet perhatian, takut ditinggal, takut ditolak, takut disakiti. Hal-hal yang ku kira sudah ku buang jauh-jauh.

Ternyata membuang ide dari pikiran dengan menghancurkan ide itu berbeda.

Selama 2 minggu aku bersihin sampah-sampah ini. Aku ganti ketakutan ku dengan kata-kata Tuhan yang menyatakan aku berharga di matanya, mulia bahkan (yesaya 43:4). Aku terima kata-kataNya yang bilang "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal" kalau di bahasa inggrisnya "I have loved you with an everlasting love". Sudah terjadi, sudah ku alami, dan akan selalu Ia tunjukkan padaku. 

Hasilnya, aku yang ngerasa nggak layak ini perlahan mulai yakin kalau aku layak disayang dengan cara yang benar. Aku yang takut ditinggal jadi ngerasa baik-baik saja sendirian karena aku punya Tuhan yang sayang banget sama aku. Aku yang takut ditolak jadi nggak "take it personally", cocok atau enggak kan ga bisa dipaksa. Aku pun nggak mau sama orang yang nggak pas sama aku. Aku yang takut disakiti pun akan belajar komunikasiin ekspektasi dengan lebih baik. Suatu hari nanti. 

Mulai bersih dari sampah, perlahan aku mulai melihat indahnya pantaiku. Perlahan aku bisa menikmati jalan berduaan sama Tuhanku, kaki berpasir, buih-buih ombak di jemari, percikan air asin terbawa angin ke rambut.

Masih banyak yang harus diubahkan di dalem sini, terutama karena aku nggak pernah merhatiin kondisi hatiku sendiri. Proses hati menerima cinta dan mencintai itu beda kan. Aku biasa ngasih rasa sayang, meratiin orang, jadi support buat temen-temenku. Tapi giliran menerima atau ingin menerima, aku nggak ngerti caranya. Aku pelaaan banget memprosesnya dan itu pun dipenuh dengan keraguan.

Aku nggak nyangka aja momen awal 2021 jadi waktu mengenal isi hatiku. Makasih buat pria yang bikin aku memperhatikan kondisiku sendiri dan mulai mempertanyakan hal-hal kayak, "gimana caranya sayang Tuhan saat ada orang yang sedang mengambil perhatianku?", "apa yang bikin aku mau stay dalam sebuah hubungan?", "apakah aku layak marah saat diperlakukan seperti ini?", "gimana caranya berhenti mikirin orang itu dan fokus sama kehidupanku sendiri seperti biasa?".

Naik turun hati kayak gini itu sangat melelahkan buatku. Aku inget capek yang sama saat pertama kali jatuh hati. Bedanya, dulu aku nggak punya ekspektasi untuk jadian, cuma buat main-main aja. Yang ini ada. Ada banget. Dan mayan serius mikirnya.

Kalau kata work husband ku, "yang paling susah itu nahan ekspektasi, Jo." Ya, terutama untuk otak penulis yang begitu cepat berimajinasi ke sana sini. Sering kali aku nggak sadar kalau lagi mikirin dia, tiba-tiba aja seneng/stress. Sebelum hal kayak gitu kejadian, aku wajib menyadarkan diri di tengah pikiran tersebut. "Stop! Take every thought captive to make it obedient to Christ." Balikin semuanya ke Allah yang paling kenceng, paling pede, dan paling setia dalam menyatakan cinta-Nya ke aku. Jangan nempatin hatiku di orang yang masih penuh tanda tanya.

Ekspektasiku adalah Tuhan bakal kasih pria yang terbaik, di momen yang paling pas. Orang dengan value dan prioritas yang sama, orang yang direction in life-nya sejalan. My main pursuit remains my God who is my treasure. Until I meet someone on the same way with me towards that, I'll remain happily walking with the holy spirit. Oh, all the places we'll go :)

Comments

Popular posts from this blog

School: One Final Down!