Posts

I'm done being high and dry

Image
Awal tahun kemarin aku jatuh hati dengan seseorang dan hari ini aku mempertanyakan apakah lebih baik berteman aja dengan pria ini. Lucu ya, betapa cepatnya hati ini bisa berubah. Di satu sisi aku lega logika ku sudah kembali mencuat, naik ke permukaan laut endorfin yang perlahan surut. Realitasnya, pasang yang surut menunjukkan kotornya pantai hatiku. Banyak sisa-sisa sampah dari masa lalu; ngerasa nggak layak dapet perhatian, takut ditinggal, takut ditolak, takut disakiti. Hal-hal yang ku kira sudah ku buang jauh-jauh. Ternyata membuang ide dari pikiran dengan menghancurkan ide itu berbeda. Selama 2 minggu aku bersihin sampah-sampah ini. Aku ganti ketakutan ku dengan kata-kata Tuhan yang menyatakan aku berharga di matanya, mulia bahkan (yesaya 43:4). Aku terima kata-kataNya yang bilang "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal" kalau di bahasa inggrisnya "I have loved you with an everlasting love". Sudah terjadi, sudah ku alami, dan akan selalu Ia tunjukkan pad

Why am I anxious?

Image
Photo by Nils Schirmer on Unsplash Gue benci banget sama anxiety. Dimulai dari otak yang bilang "lu salah banget, Jo. Kenapa lo bilang ini itu. Bakal susah kita," lalu dilanjutkan dengan jantungan dan nafas yang tersengal. Benci banget karena drama banget badan gueh. Ish. Karena gue modelan orang yang suka ngoprek diri sendiri, gue mulai memperhatikan trigger yang bikin gue anxious dan hal yang bisa gue lakukan untuk menenangkan diri. Ini hasil internal riset gue: 1. Ngecewain Orang Lain Gue suka anxious kalau ngerasa akan ngecewain orang lain dengan menolak permintaan mereka atau ngejatuhin ekspektasi mereka. Padahal ya, dalam bisnis itu kalo lo emang nggak sreg dengan partner kerja lo atau dengan hasil kerjaan lo, mending lo bilang. Komunikasi yang baik itu adalah kunci kelangsungan kerjasama kan? Secara gue banyak ketemu orang-orang baru dan ada beberapa yang nawarin kerjaan -- padahal schedule gue udah sesak banget -- gue harus sering menolak ajakan mereka. Cara terbaikn

The Thing: Where I'm At

Image
Terakhir aku update soal "The Thing" itu di tahun 2016. 4 tahun kemudian, aku masih menulis script dan sedang menulis film ke-7 ku. Aku masih suka dengan kerjaan ini. Ngejelimet, bikin stress, tapi aku suka ngoprek-nya dan cari formulanya. Intinya, aku memang suka menyakiti diri sendiri. Menulis di tahun 2020 itu enggak gampang. Aku kehilangan dua orang yang aku sayang. Aku jauh lebih sensitif. Produktivitas berkurang dan self-consciousness bertambah berkali-kali lipat. Hal ini bikin capek dan nulis jadi proses yang lebih lama. Aku tau aku butuh liburan dan tahun 2021/2022 memang seharusnya jadi tahun sabbatical ku. Ada satu produser yang bilang gini saat aku ngasih tau aku mau cabut 1 tahunan. Nggak plek-plek sih, paraphrase aja: 'the industry moves so fast. You may be forgotten by the time you're back.' Well, aku sama sekali nggak takut. Malah, kalau aku nggak menikmati hidup dan berkembang dalam dunia personalku, ceritaku bakal gini-gini terus. Untuk pertumbuha

Selamat tahun baru

Sekarang pukul 1.47 pagi. Aku ada tugas yang harus diselesaikan, sekitar 50 halaman menunggak, tapi aku habiskan sekian jam untuk menelepon teman-teman dan keluarga, mengucapkan selamat tahun baru, lalu nonton Before Sunrise karena aku pengen. Orang yang ku harapkan ngirim ucapan selamat tahun baru nggak ngucapin balik. Iya, aku udah ucapin duluan. Oh well, memang dia nggak hidup di dunia online. Aku mengerti. 2020 penuh dengan pertarungan melawan kenegatifan diriku sendiri. Walau di luar otak ruwet ini hidup rasanya indah-indah aja, aman, sehat, nggak banyak kehebohan selain miskin karena semua harga sembako dan listrik naik. Namun, kesendirian pandemi bener-bener menggerogoti hati ini. Ternyata aku nggak suka hidup tanpa teman, tanpa dipeluk, tanpa ngobrol sama orang lain. Bersyukur ada adikku yang tinggal sementara di rumah. Kalau enggak, aku bener-bener jadi gila.  2021 aku akan lebih terbuka, lebih sering video call'an sama temen dan message mereka secara random. Nggak perlu a

Kalimat yang Sering Ku Dengar Saat Single

Image
Photo by  Tinh Nguyen "Aku nyusul kamu, ya!" Nggak tau udah berapa orang yang ngomong gitu. Belum pernah aku didatengin, diketuk pintunya, disambut pulang padahal dia yang di luar dan aku yang di dalam rumah. "Gue ngerasa, I'm going to be alone for a long time. Makanya gue mau enjoy aja sekarang, Jo." Satu temen cewek bilang gitu. Bukan dengan nada pesimis, tapi dengan contentment, keterbukaan. Kita bicarain film cewek yang enggak ngomongin cowok karena mereka nggak nambahin apa-apa ke cerita.  Aku pengen ada cowok yang nambahin sesuatu ke ceritaku. "Persiapkan dirimu aja, Han." Mungkin yang keempat kalinya bulan ini, ke-123 sejak aku tinggal lagi di rumah. Makasih, Mam, enggak menuntut dan menanyakan waktu. Cuma sekali pertanyaan itu keluar, tapi bukan dari Nyokap. Dari Bokap. "Kamu udah ada yang diseleksi?" Ya, itu kata yang dipake Bokap, "seleksi". Kayak aku juri-nya, bukan yang diseleksi. Senangnya punya Ayah yang bisa nyuntikin

Quietness is Elusive

Image
Quietness is a luxury. In a world where people strive to be significant in 15 seconds, where a Tik Tok trend lasted a week-long before turning obsolete. The digital noise is getting so loud even when you're all alone in your room. Quietness is easily forgotten. What even is the sound of your heart? A faint whisper swallowed by the tappings of likes and comments. Quietness is sitting down and letting your body speaks. The very throbbing sound of blood boiling in the veins. Quietness is taking 5 minutes to write this, never distracted by the chiming of tweets and the posts I could make as an insta story which is not true. Quietness will soon make a comeback once we're all deprived of the energy to respond. Once we went haywire by the tiniest enticement. Once we combusted into the air, into dark sad fumes, overwhelmed by stimulus. Quietness is not me yet but fuck I need some.

Beneran Bukan Wibu!

Image
"Wah, ternyata kamu wibu!" atau "Lo closeted otaku, ya?" Kalimat-kalimat ini sering gue dengar dari teman-teman yang mengira gue nggak nonton anime. Seakan ada anak muda di Indonesia yang enggak nonton Anime. Permisi, gue bukan dua-duanya deh. Coba gue jelasin. Pertama-tama mari kita selaraskan arti dari 2 kata barusan. Menurut mbah Google, --ya, gue harus googling 2 kata ini saat pertama kali disebutkan ke gue karena gue blas nggak tau-- Wibu atau Weeaboo atau Weebs adalah orang yang suka banget sama Anime dan kultur Jepang sampe sering menganggap rendah hal-hal di luar itu. Sedangkan Otaku adalah orang yang sangat menggandrungi hobinya sampe stuck di rumah, nggak punya social life. Hobinya bisa macem-macem, tapi zaman sekarang konotasinya adalah anime freak. Oke, sejaun ini udah jelas? Bagus. Selayaknya banyak orang Indonesia, gue tumbuh besar dengan kartun jepang sebagai tontonan favorit di TV. Terkadang, anime adalah satu-satunya jenis tontonan anak kecil selain

3 Cara Move-On buat Si Pemberani

Image
Lo pernah nggak ngerasa tiba-tiba sensitif dan sentimen, padahal selama ini lo ngerasa cukup logis? Lo liat apa yang lo suka, lo kejer, dan lo dapetin. Masalah "jatuh bangun" nggak pernah  bikin lo takut. Pokoknya sampai ke finish line. Elo adalah Si Pemberani, dan Perjuangan adalah nama bokap lo. Namun selayaknya roda yang berputar, apa yang ada di atas harus turun kebawah. Hal yang selama ini jadi kebanggaan dan kesayangan lo, sekarang nggak ada artinya sama sekali. Lo ngerasa hancur. Mimpi lo kandas, ekpektasi rata sama tanah. Seperti kehilangan identitas, lo jadi nggak tau cara menjelaskan situasi ini ke siapa-siapa. Dan hati lo... Ah, hati itu cuma sejenis mitos dewa dewi yunani. Lo mulai bertanya-tanya, kenapa sih masalah hati ini begitu jitu melumpuhkan kesehatan? Bisa bikin gue nggak selera makan, nggak fokus beraktivitas, pengennya marah, tapi bisanya cuma bengong mandangin sekotak ubin sambil mikirin cara jedotin kepala yang nggak nyakitin tapi cukup lethal

Approaching The Big 3

Image
Hey, I am glad you're still here. In a blog. A relic to the gen-z yet an archive I love to revisit nonetheless. For some reason, I feel more at ease when writing my candid thoughts on this blog. Not on Medium, not on Instagram. It might be because we've been running together for more than a decade and a half. Or maybe it's the fact that I believe nobody really reads my writings here and thus I can maintain a somewhat anonymous relationship with my readers. Regardless, here's a little reflection on what has happened in my mundane life. In the last year, I've met new friends whom I would call my sisters in Christ. I've been shocked by my feelings towards a group of people I didn't realize I cared about. I've cried more than what the situation logically called for. I've learned to be vulnerable at times, to hold back on others, to readily unmatch, and to maintain healthy boundaries. I've swelled with pride as I watched people grow and let others go

Makanan Memori

Image
Gue adalah orang yang selalu mengawinkan "good times" dengan makanan dan pembicaraan. Itu adalah resep hang out favorit gue. Kalau salah satu dari dua komponen tersebut nggak melampaui level yang gue mau, gue nggak bakal nyimpen acara tersebut dalam bayangan gue. Asli. Gue masih inget makan-makan untuk ulang tahunnya Ames saat SMA. Kita di Penang Bistro, gue makan roti canai dengan curry yang walaupun dagingnya sedikit, tapi rasanya gurih nagih. Lalu, makan-makan kepiting goreng telor asin sama Ian (dan beberapa teman yang lain) di Surabaya, atau makan-makan seafood habis basah-basahan di Dufan sama anak-anak kantor di Pluit ngalor ngidul ngomongin macem-macem padahal badan udah remuk. Countless dinner dates sama Sam and Devi. Sedangkan saat makanannya nggak enak tapi pembicaraannya seru... ada tuh, gue sampe ngerasa nggak enak. Dia sampe ngasih tauin beberapa detail tentang hari itu, makanannya, aktifitasnya, dan gue pun tetep nggak inget kalau kita bahkan pernah k

Flashbacks

Image
2017 Zamannya manusia semakin terkoneksi, tapi hubungan semakin gila. Komunikasi semakin mudah, namun seni mendengar tak terdengar. Baru kali ini gue ngeliat kaum mayoritas protes besar-besaran minta yang minoritas keluar. Baru kali ini gue liat presiden nyulut perang nuklir di twitter. Baru kali ini gue liat sumbu pendek calon-calon gubernur disiarkan di televisi. Setiap baca berita gue seperti meniti tali antara panik dan nggak percaya, antara mau marah dan mau ketawa. Nggak ingin jatuh ke jurang, tapi jantungan maju ke depan. Gue kira tahun 2016 itu gila. Nggak, 2017 jauh lebih heboh. 2018 Mungkin kita sudah terbiasa dengan kisruhnya dunia. Perang di negara lain dan perang di twitter terasa sama pentingnya. Perang untuk ketenangan batin jadi lebih terdengar. Kemarin ada teman yang curhat tentang depresinya, aku sendiri suka sesak nafas mikirin masa depan. Merasa sehat nggak lagi soal kadar gula dan berat badan, tapi juga kualitas hati dan pikiran. Apa yang akan kamu lakukan