Flashbacks



2017
Zamannya manusia semakin terkoneksi, tapi hubungan semakin gila. Komunikasi semakin mudah, namun seni mendengar tak terdengar. Baru kali ini gue ngeliat kaum mayoritas protes besar-besaran minta yang minoritas keluar. Baru kali ini gue liat presiden nyulut perang nuklir di twitter. Baru kali ini gue liat sumbu pendek calon-calon gubernur disiarkan di televisi. Setiap baca berita gue seperti meniti tali antara panik dan nggak percaya, antara mau marah dan mau ketawa. Nggak ingin jatuh ke jurang, tapi jantungan maju ke depan. Gue kira tahun 2016 itu gila. Nggak, 2017 jauh lebih heboh.

2018
Mungkin kita sudah terbiasa dengan kisruhnya dunia. Perang di negara lain dan perang di twitter terasa sama pentingnya. Perang untuk ketenangan batin jadi lebih terdengar. Kemarin ada teman yang curhat tentang depresinya, aku sendiri suka sesak nafas mikirin masa depan. Merasa sehat nggak lagi soal kadar gula dan berat badan, tapi juga kualitas hati dan pikiran. Apa yang akan kamu lakukan untuk itu?

2019
Tunggu, tunggu, tunggu. Udah berapa tahun terlewat begitu aja? Tahun ini gue memfokuskan diri ke instagram dan youtube. Bukan buat brand gue sendiri tapi untuk perusahaan-perusahaan besar yang katanya sih akan membawa Indonesia ke masa depan. Keseringan ngeliat layar, menunduk dan menontoni angka-angka views menyebabkan lupa lingkungan, lupa waktu, lupa juga kalau ada hidup diluar dunia digital. Badan dan pikiran terasa terpisah. Keduanya merasakan waktu dengan cara yang berbeda. Si Tubuh lewat terang dan gelap, si Pikiran lewat ingatan dan imajinasi.

Tonight
Udah berapa tahun kita hidup di blog ini? Dulu gue menulisnya sebagai pancang eksistensi masa remaja gue. Sekarang, saat blogging udah nggak dilirik lagi, gue jadikan tempat ini sebagai sarana refleksi.

Apakah perlu dipost dan ditunjukan ke orang-orang? Mungkin nggak. Mungkin kalian yang masih ada di e-mail list gue akan garuk-garuk kepala mikir... "nih orang masih ngeblog?"

Yah, gue mampir sejenak. Nulis untuk diri sendiri rasanya enak banget ya... Apalagi saat lagi-lagi gue ditinggalkan gebetan. Yes, curcol. Yes, nikmatilah. Jujur, gue nggak kangen nulis di sini, butuh pun nggak. Gue punya diary gue sendiri dan gue nggak masalah ninggalin proyek personal ditengah jalan. Tapi, anggaplah baca surat dari kawan lama.

Masih ingat The Thing? Well, I'm living it right now. It's crazy. I would love to write more about it, but I think I have some non-disclosure to honor. Kok tiba-tiba enggrish gini, Jo? Iya, maap lupa.

Kesimpulannya, tahun demi tahun bisa lewat begitu saja tanpa kita sadari. Membaca jejak-jejak kehidupan dari blog ini membuat gue sadar ada banyak hal yang patut gue syukuri. Dunia bisa jungkir balik kayak gimana, tapi hidup gue diberkati dan dijagain sama Tuhan. Makasih udah nulis cerita ku sejauh ini, Tuhan. Engkau baik pol!

Seperti nama blog ini, the old Joe is truly dying, she's still dying. Joe yang kamu baca tahun 2017 cuma bersisa serpihan-serpihan kecil. Tapi satu hal yang masih sama, gue masih suka ngalor-ngidul. Nulis dari A bisa selesai di Z. Yah, itulah rasanya baca coretan jujur seseorang. Bukan artikel koran kompas. Makasih ya Blogger, kamu masih nyimpen ini semua buat gue bacain lagi suatu hari di tahun 2019. Dan terima kasih juga buat kamu, siapapun kamu, yang sempat jadi pembaca blog ini atau masih membaca blog ini. Kamu tau kan aku lebih aktif ngobrol di Instagram? :)


PS: Yang tulisan tahun 2017 itu beneran ku tulis di tahun 2017. Baru hari ini ku lanjutkan tulisannya dan kuselesaikan. Nggak inget juga apa tujuan ku nulis blog ini pada awalnya. Mungkin resah aja dengan kegilaan dunia di tahun itu. Lucu. Tahun ini aku lebih resah dengan kehidupan cintaku.

Comments

Popular posts from this blog

I'm done being high and dry

School: One Final Down!