Story of a crocodile



Mungkin anda bingung mengapa tiba-tiba saya menulis dalam bahasa indonesia. Ini semua dapat dipertanggung jawabkan oleh buku Laskar Pelangi yang sangat, sangat, sangat menakjubkan. Isinya menyegarkan tulang belulang saya yang sudah begitu rapuh karena digerogoti buku-buku teen lit yang ringan dan penuh lelucon musiman. Bukan berarti saya tidak menghargai hasil literatur generasi muda abad 21 ini. Namun, esensi dari sebuah buku yang hanya bercerita tentang cinta lutung masa remaja sudah tidak bagitu memuaskan bagi jiwa si pengangguran ini.

Laskar Pelangi, buku yang saya baca hampir tiap malam selalu membawa saya ke sebuah kenangan-kenangan belajar yang penuh gairah muda. Kendati saya belum terlalu berumur untuk mengenang masa-masa SD dan SMP, namun frase-frase kecil dalam buku pertama dari lima ini selalu menyentil otak saya untuk memutar film-film sephia dari masa sekolah saya. Seperti contohnya kisah seorang Lintang (yang luar biasa pintar) saat dihadang oleh seekor buaya ukuran XXL di jalan menuju sekolahnya.

Kisah tersebut mengingatkan saya tentang zaman-nya banjir bandang kiriman dari Bogor yang menyentuh kali cinere di daerah pondok cabe yang terkenal anker. Banjir ini membawa buaya-buaya masuk ke jalan raya akibat tersapu arus kali. Cerita-cerita tentang banjir ini pun tersebar ke seantero jakarta. Di saat yang sama, si pengangguran buluk ini yang masih duduk di kelas 5SD mendengar cerita-cerita konyol tentang banjir di radio kesayangannya sampai saat ini; Prambors FM. Masa itu, prambors masih menongkrongi frekuensi 102.3 FM dan bintang siaran pagi masih dilakoni oleh Bu Ayam (vena anisa) dan Bapak Ayam (Daniel siapaaaagitu). Ceritanya ada seorang anak muda berumur 17 tahun yang bercerita tentang buaya yang nagkring di garasi depannya karena banjir. Tentunya, cerita heboh nan kocak ini melekat di otak saya. Dan dengan santainya, saya membuat cerita itu menjadi kisah non-orisinal (dengan saya sebagai pelaku utamanya) di otak saya. Cerita tentang buaya di garasi pun saya kumandangkan kepada teman-teman saya, dengan mengganti kata "gue denger di radio" dengan "di rumah gue...". Dan jadilah saya sebagai pembohong amatir kelas mikroba yang benar-benar buruk pamornya. Beberapa teman yang tentunya berusaha mengkralifikasi berita aneh ini berkata "Ah, johanna bohoooong !". Beberapa diantara mereka adalah si Jesse. Ia bukan saja berusaha mengklarifikasikan berita tersebut kepada saya, namun kepada nara sumber yang jelas lebih terpercaya yaitu adik saya (yang berada di satu tim sepak bola dengannya). Dari mulut adik saya, yang sekarang telah berada di negara paman sam ini, terbongkarlah bahwa saya seorang pembohong tak berwajah (faceless liar, maksudnya).

Semenjak dari kejadian ini saya hanya pernah berbohong sekali lagi kepada sang tuan HoSap. Dan cerita kebohongan saya yang kedua kalinya tersebut, akan saya ceritakan di blog berikutnya.

(penasaran gak sih luuuhhh...?)

PS: alasan kedua untuk saya menulis dalam bahasa indonesia adalah saya tidak ingin cerita-cerita ini dibaca oleh orang2 dari negara lain. Kalau-kalau saya pergi ke negara tersebut mereka bisa menertawakan saya dan berkata sambil menunjuk-nunjuk saya penuh maki "AHAHA, itu-tuh si pembohong buluk !!!"

Comments

Popular posts from this blog

I'm done being high and dry

School: One Final Down!