Mau Muntah



Saya mau muntah. Entah untuk alasan apa, tapi rasanya ada sebuah endapan berumur 9 bulan yang mau keluar dari terowongan leher ini.

Keluarga saya memiliki sebuah rencana untuk menyusun hidup baru disebuah kota mimpi. Dulu saya mencintai kota tersebut. Saya mengidam-idamkan bisa tinggal disana; menikmati angin di pelabuhan tua-nya, menantang fajar yang muncul di atas bukit berangin-nya. Disetiap jalanan berbatu bata seakan terselip rahasia cerita dimasa tua, masa sebelum api besar menghanguskan setengah dari kota tersebut. Saya belum pernah jatuh hati, namun jika perasaan itu sama dengan kali pertama saya menikmati kota itu, saya ingin jatuh hati setiap hari.

Detik ini di tahun yang lalu, saya bertekad mencari pekerjaan disana, tinggal dan menetap di kota impian. Saya pernah menceritakan rencana tersebut kepada seorang teman kuliah, namun diantara lelucon dan bual-bualan, ia memohon saya untuk tinggal bersamanya hingga ia lulus. Ia menarik jari kelingking saya untuk berjanji, namun saya hanya tertawa memaki sikapnya. Toh, akhirnya saya tetap tinggal di kota itu hingga ia lulus kuliah, dan minggat ke New York, dan saya pun kembali ke kota kelahiran saya. Tak jelas juga apa itu sebuah janji kesetiaan saya dalam mendukung sang teman, atau sebuah saksi akan kecilnya nyali si pemimpi ini. Mungkin memang belum waktunya, mungkin Jakarta lah tempat saya seharusnya.

Beberapa minggu sebelum saya kembali ke Jakarta, saya mengubur mimpi itu dalam buku harian saya. Secara tidak sadar, saya telah kehilangan sebuah cita-cita polos, dambaan lugu, bahan lamunan terhebat. Tidak ada yang salah kan, dengan mengingini sesuatu hanya karena kamu suka rasanya? Tanpa alasan konkrit, hanya perasaan suka saja. Sayangnya, perasaan suka ini bukanlah alasan yang cukup kuat bagi saya untuk menjadikan mimpi ini sebuah realitas. Saya anggap perasaan ini hanya semata-mata cinlok, dan saat saya didorong untuk mengejarnya, saya hanya sanggup berdiri menatap layar laptop kosong.

Kini mimpi tersebut kembali disungguhkan. Entah untuk alasan apa, tapi rasanya ada sebuah endapan berumur 9 bulan yang mau keluar dari tiap rongga dada saya. Apa yang telah saya kubur, biarkanlah tetap terkubur.

Tuhan, jangan berikan aku mimpi yang sama jika itu tidak akan terjadi. Aku berusaha melihat kedepan, menerima akhir kisah hidup tua di Jakarta. Aku tidak menolak untuk kembali ke kota itu, tapi aku takut mengulang mimpi itu lalu terbangun basah penuh air mata. Terlebih lagi, saat ini aku merasa seperti dimainkan, diombang-ambingkan antara kota impian dan kota realitas, antara ketidak puasan dan ketidak pastian. Apakah ini satu-satunya jalan? Jika iya, aku tidak mau takut. Jika iya, aku tidak mau ragu. Jika iya, Kau lah yang akan mempersiapkan semuanya sebelum bulan Juni berakhir.

Endapan di perut yang tadi naik ke dada telah menenang. Biarkan saya tetap berdoa untuk malam ini. Sampai jumpa di blog post selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

I'm done being high and dry

School: One Final Down!