Art Imitating Life, or vice versa?
Malam ini rampung sudah Imago Conference, produksi dari CBN Indonesia. Imago adalah conference untuk orang-orang yang ber"gulat" di creative industry: dari film-maker, advertisers, writers, sampe kreatif-kreatif TV/PH.
Di hari pertama, ada 8 kelas workshop yang dibagi jadi 4 sesi. Disana, lo harus bertaruh memilih kelas-kelas berdurasi 1 jam, dan berdoa tuh workshop bisa mengajari lo sesuatu (yang sesuatu banget.-- apa maksudnya coba?). Dari 4 kelas yang gua ambil, ada beberapa yang benar-benar stellar dan bikin gua giddy and excited inside. The classes range from something more on the conceptual side, all the way to downright technical. Kalau malu liat insights gua dari conference hari ke-1.. Monggo cek twitter saya yang udah saya bomb dengan berbagai quotes (and paraphrases) from the workshops --> @yeahJOE.
Hari ke-2 isinya lebih konseptual. Kita diajak mikir sebagai bangsa indonesia yang plural, yang 'bhineka tunggal ika.' Kita di ingatkan lagi untuk berkarya berlandaskan value. Bahwa karya-karya kita di bidang media itu memiliki pengaruh besar ke masyarakat luas. Jangan sampai, just in the name of money, or even "biar keren" lo jadi bikin karya yang malah ngerusak moral bangsa.
Di blog post ini gua mau ngomongin tentang 1 pertanyaan yang mencruat begitu aja, dan bikin otak gua lari 100km/jam -- secepat mobil panther di tol pantura. Pertanyaannya adalah: "Apakah masyarakat/penonton tau apa yang mereka mau lihat? Atau media lah yang membentuk interest masyarakat?" Gua salut banget buat Ernest (MC-nya Imago 2014) yang berhasil keluar dengan pertanyaan laknat ini. Ini pertanyaan "ilmu seni" di bangku SMA dan kelas kuliahan. Pertanyaan yang selalu jadi bahan debat dari tahun ke tahun: Does art imitate life, or life imitate art?
Jawaban Pak Eko Nugroho adalah, these sorts of things has been researched by AC Nielsen; tentang apa sih yang orang mau tonton, apa yang mereka suka dan kenapa mereka menyukai itu. Tapi itu semua bisa dianggap absolete di indonesia; yang rakyatnya berbeda jauh dinamika-nya dengan rakyat Amrik. Rather than state lines, we have islands. Rather than 1 language with similar 'european-esque' culture, we're multi-cultured, multi-languaged with various social standings, and various education level. Pak Ego mengajak kita untuk bikin research sendiri. Dengan pertanyaan2 yang lebih kondusif dengan pola pikir masyarakat kita. Pantau benar interest masyarakat dan make a thorough study based on that. This way, we can really heal (or hit) them where it hurts.
Tapi kalau elo di tanya sekarang, sebagai masyarakat penonton Televisi / Youtube / apa lah DVD bajakan itu. Do you know what you want? or what you want has been influenced by what the media dub as "cool"? Popular blogs kaya Buzzfeed, or Refinery29 (media yang hidup sepenuhnya dari membawa konten-konten Viral) adalah media yang nunjukin ke gue, secara personal, apa yang lagi cool and happening. What I should keep my eyes on, even when I dont necessarily like it. Partly karena gua pengen tetep "in the know" (biar akhirnya bisa in de hoy. Loh?)
Sedangkan konten-konten yang gua beneran interested at.. Things like art shows, theater scripts, music, lit and socio-politics.. (Yg terakhir gua tambahin biar berasa kaum intelek) Those I google myself, I scour the net for it. Ngak perlu ada yang nyuguhin, gua bakal nyari. Itu gimana cara gua membedakan antara hal yang beneran gua suka, dengan hal yang media bilang gua harus suka. I dont care if "phantom of the opera" is sooo 2003, i love it and imma karaoke to that number the hell I want. *snap* (Maaf hitamnya keluar)
One way or another, kita semua udah kena "jampi-jampi"nya media lah.. Smua anak yang lahir atau gede di taon 90an, udah tau rasanya lengket ke TV sejak bayi. Mungkin, ngak even ada orang yang bisa completely bersih dari bayang2 media, kecuali kalau dia hidup di hutan diujung wamena situ. Buktinya, kalau kita kesel aja, kadang-kadang kita bisa pake quote dari film: "pecahkan saja gelasnya biar ramai!"
Jadi, kalau gua adalah pak eko dan pak fofo yg harus jawab pertanyaan diatas, gua bakal bilang: media shapes interest, but humans filter them based on their own standards. Bahasa lokal-nya, media punya influens, tapi pada akhirnya orang bakal milih sendiri sesuai dengan standar masing2. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah: gimana lo tau standar mereka? Standar ini personal banget loh, ngak ada tuh model2 musyawarah buat nentuin value setiap orang.
Value terbuat dari kulminasi banyak hal. (Tsah.. Kulminasi, bray! Ku lupa minta nasi!) Gua sih mikirnya, value adalah gabunan antar pengalaman pribadi, ditambah kode2 moral yg ditanamkan society: religion or what not, plus rasa "kebenaran" yang ada secara intrinsik dalam diri lo sendiri. Makanya value orang bisa beda2. Dan perbedaan value ini yang bakal nge-drive personalized-entertainment yang sekarang sudah bisa kita nikmati lewat youtube subscription system, lewat voting di digg, lewat forum-forum yang lu ikutin di kaskus. Udah lewat jamannya nonton tv karena itu doang yang lagi tayang. Sekarang jamannya nonton apapun yang lu mau, kapan pun lu mau. Coba, crew TV mana yang berani ambil challenge untuk menarik perhatian penonton yang makin egois begini? Apalagi kalau goal terakhirnya adalah untuk menanamkan value-value baru yang lebih membangun.
Beh.. Berat ya pembicaraan hari ini? Itu lah yang akan terjadi kalau lu pergi ke Imago Conference. Lu di jejelin banyak pemikiran baru, dan diajak untuk jadi pemikir kreatif yang kritis terhadap situasi negara sendiri. At the end of the day creativity is about problem solving (lu boleh quote gua). All you need to find is the problem you want to take to heart. Your personal cause that'll keep you up at night tinkering and hunkering until you move into action.. With a new possibility to change the status quo.
Comments
Post a Comment