Siapa Pilot Pesawat Lo?

When I think about death, it made me wonder: yeah, kenapa sih kita begitu takut dengan kematian? Gua belum pernah hampir mati, jadi pikiran gua belum pernah sampe sana. Tapi, coba kalau kita bayangkan bareng-bareng.. coba tutup mata kamu dan pikirin. Apa yang akan terlintas di otak kamu kalau kamu tau, dalam satu menit kamu akan mati?

Here is my list of thoughts:
1. Have I done enough?
2. Masih banyak kekurangan dalam hidup gua.. gua belum perfect.
3. Will it hurt?
4. What's my family to do..?
5. Let's see..



Kalau kamu, apa list pikiranmu? Personally, gua ngerasa kalau kerjaan gua di bumi belum memadai, gua belum melakukan "my purpose" disini -- apapun itu. Perasaan "belum perfect" itu menunjukan kalau gua selalu mencoba meraih sesuatu, meraih gol emas kesempurnaan. Mungkin kesempuranaan sebagai "orang baik" atau "penuh jasa untuk generasi mendatang." Apapun itu lah..

Lalu, ada quote ini yang gua temuin:
"It was sin that made death so frightening, and law-code guilt that gave sin its leverage, its destructive power."
Basically translasi kasarnya adalah: Dosa yang buat kematian jadi serem. Sedangkan rasa bersalah bikin itu semua menjadi-jadi, destruktif.

Tapi bener ngak sih? Gua ngerasa banyak orang bakal takut soal kematian, karena mereka ngak tau apa yang akan terjadi setelah itu. Ditambah lagi, mereka ngak tau apakah mereka udah cukup memadai untuk bikin mereka jadi "orang baik" dan bisa masuk surga. So, from both ends, it's a confusing time. Dan rasa bingung sebelum "perjalanan panjang" itu kaya, naik pesawat tanpa tau siapa pilotnya: setan atau malaikat.

Pertanyaan berikutnya, kenapa kita tangisi yang udah mati? Karena sedih mereka udah ngak ada bareng kita.. atau karena kita diingatkan lagi akan arti kematian, dan waktu kita yang juga mendekati ajal?

Gua inget, waktu Opung gua meninggal (gua di SMP klas 1) gua bener2 ngak ngerti "mati" itu artinya apa. It wasn't until years later, in College, that I finally understood. Gua ngak nangis, men, pas pemakaman pertama gua. Gua ngak tau kenapa gua harus nangis.. Gua yakin dia udah ngak menderita di bumi, dia udah hepi di surga. So, why shed tears?

Sedangkan pas gua di College, even with the same realization, I still cried. I balled my eyes out when 3 of my grandparents died one by one. Gua tau satu alesan gua menangis: I wish I was there. Gua masih pengen ngobrol sama mereka, gua actually punya proyek yang mau gua lakuin sama mereka. Gua hilang kesempatan untuk hang out sama mereka, mereka yang udah bantuin gua untuk kuliah di States. Dan itu penyesalannya, butuh waktu 2-3 tahun untuk bener-bener get over it.

Pernah denger kata-kata ini: hidup dibumi itu cuma seperti kedipan mata, dibandingkan dengan eternity. Gua lupa dari mana gua denger itu. Tapi, quote tadi ngingetin gua untuk ngak musingin banyak hal di Bumi. Malah, nikmatin aja semua hal yang udah di siapin Tuhan buat elo. Nanti di Eternity, lu bakal nikmatin leeebbiiihhh lagi. Karena, denger-denger, disana.. bakal banyak hal-hal yang shooo amajiing, luar biasa!

Satu pertanyaan lagi..
Kalau hidup dibumi cuma seperti kedipan mata dibandingkan dengan eternity.. Yang mana yang harus gua fokusin? Hidup di bumi.. atau nabung buat di surga?

Let me know what you think! :)

Comments

Popular posts from this blog

I'm done being high and dry

School: One Final Down!