Self-publication, Cinta dan Eksistensi

Burung tidak pernah berhenti dari tujuannya, sengaja melipir ke dapan jendela lo, dan berkicau keras seakan mengatakan, "Gue disini! Liat gue, gue berkicau, dan gue penting dalam siklus kehidupan lo!" Begitu juga dengan bunga-bunga di padang. Mereka tidak sengaja berhenti memekarkan kuncup-kuncupnya, supaya elo berhenti di tengah padang dan mulai memperhatikan mereka. "Kok kamu berubah, bunga? Kok kamu nggak seperti biasanya?" bunga-bunga pun buang muka.

Jadi, kenapa manusia (kita) begitu kokoh mempertahankan eksistensi dengan mengabarkan potongan-potongan kehidupan lewat foto, video, dan tulisan digital? Mengantisipasi kiriman acungan jempol, beberapa hati dan komentar apresiatif di layar LCD? Apa keresahan dibalik budaya self-publishing ini? Menurut gue, karena media-media ini lah yang menyuarakan dan menjawab, secara jelas, kebutuhan manusia sebagai mahkluk sosial: existence.

Eksistensi hidup itu berasal dari pertanyaan, "kenapa gue disini?" Lalu, jika di break-down lagi, pertanyaannya bisa diartikan jadi, "Adakah tugas yang harus gue lakukan? Hanya gue dan bukan orang lain?". Dan kalau lo kupas lagi, pertanyaannya jadi berbentuk gini; "seberapa pentingnya gue?"

Bam! Menurut gue, pertanyaannya berhenti disitu. Gue itu penting nggak? Dan saat likes, loves, laughs, re-tweets, re-blog, apapun itu diraih, pertanyaan simpel itu terjawab untuk sementara. Ya, gue penting. Ya, gue disukai, dicintai, disenangi, disetujui, dipuji. Lalu, selang beberapa waktu, kembali lagi pertanyaan itu muncul. Seperti botol aqua yang bolong, yang terus minta diisi, tapi airnya terus luber kemana-mana, itu lah hati kita yang terus-terusan minta diperhatikan.

Kalau lo perhatikan nama-nama tombol apresiasi sosial media, seperti likes, dan loves, itu semua adalah kata-kata berkonotasi kasih sayang. Mungkinkah, yang manusia cari selama ini adalah kasih sayang? Kalau jauh di lubuk hati terdalam, kita semua ingin dimengerti dan dicintai. Itu alasan kenapa anak-anak yang lahir dan besar dalam keluarga yang harmonis lebih jarang bermasalah. Sedangkan, kata-kata kaya 'daddy-issues' itu lahir dari anak cewek yg gak dapet rasa sayang dari papanya waktu bertumbuh besar.

Di sosial media, kita nge-post untuk dapet cinta, dapet rasa apresiasi, alasan untuk tetap eksis. Tapi, kapan kita memberikan cinta itu? Kalau dalam dimensi digital, gampang lah ya, lo like balik foto temen, lo komenin tuh postingan. Tapi, di balik foto profil orang-orang bersenyum indah itu, ada manusia-manusia berdaging dan bernafas yang haus cinta dan pengakuan. Orang-orang itu termaksud gue juga, loh.

Coba lo pikirin, kalau kita semua kerjaannya cuma minta dicintai dan diperhatikan, terus siapa yang akan memperhatikan dan mencitai? Karena sesungguhnya, cinta itu hubungan timbal balik. Jangan nunggu dapet kursi pelaminan untuk mulai mencintai. Nggak perlu nunggu punya cewek buat menyayangi. Liat orang disebelah lo yang sibuk ngepost foto makan siang kalian, dan belai wajahnya bilang, "I love that photo, but I love you more." (tapi jangan marahin gue kalo lo di gampar)


P.S.: Tulisan ini ada karena terinfeksi Cacing Kritis waktu baca Supernova.

Comments

Popular posts from this blog

I'm done being high and dry