Menjadi Jujur dan Dampaknya ke Karya

Taken from Unsplash by: Paolo Imbag

Gue nggak inget apa gue udah pernah ngomongin ini atau belum, tapi gue pengen coba nerbangin pesawat kertas ini lagi. Tangkep yah!

Jujur itu serem loh. Serem karena nggak ada yang bisa menyangkal kebenarannya kecuali si pembicaranya, tapi nggak ada juga yang bisa menghentikan opini tentangnya kecuali si pendengar.

Sejak kecil gue selalu mengedepankan kebutuhan orang lain. Lewat observasi, gue gampang tau apa yang mereka ekspektasikan dari gue. Saat hal ini dikombinasikan dengan jenis 'people pleaser' versi Johanna, gue jadi sering menghabisakan waktu mencari emas di sungai demi orang lain. Padahal yang gue mau adalah berlian.

Belajar dari situ, gue mulai menggunakan metode observasi untuk mengedepankan keinginan gue. Caranya, sebelum memaparkan ide gue akan memperhatikan kebiasaan, ketertarikan, serta kepercayaan mereka, lalu menggunakan itu untuk nge-pitch ide-ide gue.

Contoh, beberapa bulan sebelum gue lulus SMA gue mulai memperkenalkan ibu gue dengan dunia advertising; jurusan yang mau gue ambil buat kuliah. Caranya? Setiap kali gue buka majalah, gue nunjukin advertising yang bagus ke Nyokap. Kalau ada gallery showing, gue pergi ke sana sama Nyokap dan gue tunjukin karya yang paling gue suka, dan kenapa gue suka karya itu. Gue akan dengan 'seamless' memasukan referensi soal branding ke pembicaraan. Nggak setiap hari, tapi cukup untuk bikin nyokap gue mikir "ini anak bener-bener tertarik sama bidang ini." Dan akhirnya, berhasilah gue kuliah ngambil jurusan Visual Communication (yang akhirnya gue tinggalin untuk Motion Design). Intisarinya, ini adalah cara gue memanipulasi (sorry, Mam). Gue nggak perlu nutup-nutupin, hampir 100% taktik ini berhasil: gue dapet apa yang gue mau.

Setelah melakukan hal ini selama bertahun-tahun, gue sadar gue mulai kesulitan mengetahui apa yang gue mau. Apalagi untuk nerawang ke relung-relung hati untuk menemukan segelintir passion disana. Bercampur aduk dengan manipulasi, dan ekspektasi, kejujuran semakin lama semakin sulit untuk ditemukan. Padahal, Bang Joko Anwar selalu bilang, kalau kita mau menulis karya yang bagus, yang penuh arti dan menyentuh, kita harus jujur dengan diri kita sendiri, dan menulis kejujuran tersebut.

Pertama kali gue denger konsep ini, gue bingung loh. Asli. Gue nggak tau apa maksud kejujuran tersebut, dan kenapa gue harus jujur dengan diri sendiri. Tapi semakin sering gue menulis, gue semakin mengerti kalau lo nggak bisa nulis atau mengkaryakan sesuatu yang lo nggak percayai.

Jujur itu berasal dari hati, tempat segala rasa percaya kita berasal. Mungkin lo adalah modelan orang yang percaya sama hantu. Dan kalau hati lo di belek, mukanya buto ijo ada disitu tersenyum mandangin kolor. Mungkin nggak sama dengan gue, yang kalau hatinya di belek keluarnya nada-nada manis yang bikin orang ngerasa dipeluk. Tiap orang bakal beda, karena jiwa kita, passion kita, beliefs kita beda-beda. Ini lah yang bikin karya kita bisa unik; karena semua orang nggak ada yang sama.

Pernah denger sebutan ini, "you leak who you are." Kejujuran itu nggak bisa disembunyiin. Kalau lo jenis orang yang happy go lucky, pembawaan lo akan berbeda. Saat lo di tarok di pemakaman, lo bakal yang pertama tersenyum saat ditawarin kueh nastar. Atau, kalau lo modelan yang sarkastik, bahkan waktu ngeden ngeluarin anak, lo bisa neriakin joke tentang lebih enak bikinnya dari pada ngeluarinnya. You can't help yourself, you just leak.

Ini seharusnya bikin kerjaan lo jadi mudah. Lo bisa milih mau ngambil job mana (kalo lo freelance-an kaya gue) dan lo bisa dengan mudah bilang 'nggak' karena nggak tertarik. Toh saat lo mengkaryakan sesuatu yang lo percayai (positif atau negatif), hasilnya akan selalu lebih mudah dipercayai juga oleh pembaca.

Good luck!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

I'm done being high and dry

School: One Final Down!