Mantan Rasa Dementor
Sudah 4 bulan semenjak putus dari pacar jepang. Kalo gue cerita ke diri gue di umur 13 tahun, dia bakal seneng banget kali bisa punya pacar dari negara Salad Days. Sayangnya, Sayur-san nggak suka makan, sukanya kerja, nggak bisa ngobrol, bisanya ngedumel, nggak terbuka, jagonya berasumsi, dan nggak bisa menunggu, maunya nikah bulan sekian titik. Kalo kata adik, selama 5 bulan itu gue kayak badan doang ga ada jiwanya.
Jadi setelah 5 bulan bersama, gue minta putus, tiga kali -- nangis kejer di Juli, logis legowo di Agustus, dan dengan yakin nan sakit di September.
Dulu setiap kali kita balikan Sayur-san bakal bilang, "one day I will give up." Gila ya, baru juga dikasih kesempatan kedua, udah diancem aja gue. Tapi ya namanya juga bodoh dan penuh harapan, kata-kata itu terdengar sebagai informasi saja dari pria yang sakit hati. Si empath solution-finder kayak gue, berusaha ganti approach, benerin pola pikir sendiri, perbaiki komunikasi, lebih hati-hati saat ngomong. Tetep aja zong.
Makanya, saat ketiga kali, bahkan hanya dengan nge-chat "gue nggak yakin kita bisa siapin diri buat pernikahan," dia bales... Silahkan cari partner baru. Puji Tuhan dia menyerah -- walau besoknya dia bilang, "bukan itu maksud gue."
Baru kali ini gue mengerti gimana susahnya punya hubungan dengan orang avoidant, halu, dan penuh ketakutan (yang tak dia sadari). Berat. Apa-apa salah, tau-taunya diem, tau-taunya ngedumel. Banyak ngomong "seharusnya" dan "nanti" dan semuanya untuk menjaga dirinya sendiri, bukan untuk mengenal gue atau membuat hubungan ini sama enaknya di gue.
Sayur-san perlu dicuci, digaremin, lalu direbus hingga lembut. Kalau perlu ditumbuk lalu dimasak bersama bumbu dan santan. Baru dia bisa jadi sandingan lapo.
Yang gue syukuri adalah gue bisa lebih tahu jenis orang yang tepat buat gue. Lalu gue bisa mengkomunikasikan bahwa dia bukan orang yang seperti itu. Gue memilih bukan karena perasaan, tapi karena nilai-nilai penting yang nggak cocok di kita. Ternyata kalau nilai-nilai itu clashing, chemistry nggak bisa berkembang, dan rasa percaya juga ga bisa mendalam -- mau usaha kayak gimana pun.
Gue cukup bangga bisa membedakan antara kata-kata yang kedengerannya benar dan perbuatan yang nggak sama dengan kata-kata itu. Actions speak louder than words.
Saat ini memaafkan udah nggak lagi penuh air mata. Yang dulu sakit sekarang jadi hal yang bikin tepok jidat, "goblok" gitu doang komennya. Resentment udah jauh berkurang, tapi masih enggan untuk bertemu dia. Bisa ngobrol kalau kepepet, bisa juga bales chat kalau terpaksa, tapi jika diberi pilihan, gue mending nggak ketemu dia lagi.
Gue sampai tanya ke Koko Mentor gue, "kalau perasan gue masih enggan ke dia, apakah itu artinya gue belum bener-bener memaafkan, Ko?" Si Koko bilang, maafin orang adalah pilihan untuk nggak menyalahkan dia lagi, tapi rasa sakit itu emang butuh waktu buat disembuhin. Memarnya ada, memori saat memar-nya ada. Gue sudah memahami dan memaafkan orang yang bikin memar, sekarang memarnya aja yang perlu disembuhin dan mental ku juga supaya bisa berinteraksi dengan sehat sama si Pelaku.
Sempet terpikir, kalau ini adalah hari terakhir dia di kota ini dan dia ngajak gue makan malam buat farewell, apa kah gue mau makan berduaan dengan dia? Mungkin kita berdua cuma bakal nangis bareng atau mungkin pura-pura baik selama satu jam, lalu diperjalanan pulang gue akan sekali lagi bercucuran air mata. Kenapa? Karena gue kasihan dan berharap yang baik buat dia, tapi nggak sebagai pasangan. Never again as a partner.
Earlier last year we started with the best intentions, but there's no hiding reality. I did ask that from the Lord, show me if he is the one or not. He did show me and gave me the opportunity to do something about it. That is wisdom, not just "denger dari Tuhan" tapi juga menarik kesimpulan dari observasi lalu menentukan sikap.
Sekarang, ngeliat ke belakang, hal-hal yang nggak nyaman di hati gue, hal-hal yang bikin gue bingung... Semua itu adalah inconsistencies antara kata-katanya dan perbuatannya. Sayangnya aku rasa dia nggak sadar tentang itu dan nggak punya self-awareness yang cukup untuk bilang, "gue salah dan ini alasannya" Kalau pun bilang begitu, besoknya gue yang akan dicerca lagi -- Gila, salah gue baca text-nya lagi untuk ngecek memori. Pantes gue jadi banyak anxiety dan takut. I was dating an asshole and I was stupid for caring for him.
Sayur basi jadi pupuk lebih bernutrisi dari pada omongan dia. Bocah dementor, sucking the life out of me.
Never again.
Comments
Post a Comment