Posts

The crack that leads to the break

There are many little heart cracks that leads to a break up. It's hardly ever about 1 big thing -- though sometimes it could stem from the same root cause creating an obvious pattern of behavior -- but I digress. One of the first instances of my heart 'crack' was when I shared how important is knowing, feeling, and processing emotions for me.  I'm the stereotypical eldest daughter who felt like it was her responsibility to hold the family down. There was a number of emotional turmoils that were happening when I grew up -- things that feels humungous for a kid to process on her own. But my parents were both working and I saw how tired they would be even on the weekends. I didn't want to add to the stress, so I kept things as steady as possible. My interests were positively channeled, my academic challenges tackled, my energy were well-spent. Soon enough my 10 year old schedule was just as packed as my parents'. Emotions were at the back of my mind. Productivity a...

Mantan Rasa Dementor

Image
Sudah 4 bulan semenjak putus dari pacar jepang. Kalo gue cerita ke diri gue di umur 13 tahun, dia bakal seneng banget kali bisa punya pacar dari negara Salad Days. Sayangnya, Sayur-san nggak suka makan, sukanya kerja, nggak bisa ngobrol, bisanya ngedumel, nggak terbuka, jagonya berasumsi, dan nggak bisa menunggu, maunya nikah bulan sekian titik. Kalo kata adik, selama 5 bulan itu gue kayak badan doang ga ada jiwanya. Jadi setelah 5 bulan bersama, gue minta putus, tiga kali -- nangis kejer di Juli, logis legowo di Agustus, dan dengan yakin nan sakit di September. Dulu setiap kali kita balikan Sayur-san bakal bilang, "one day I will give up." Gila ya, baru juga dikasih kesempatan kedua, udah diancem aja gue. Tapi ya namanya juga bodoh dan penuh harapan, kata-kata itu terdengar sebagai informasi saja dari pria yang sakit hati. Si empath solution-finder kayak gue, berusaha ganti approach, benerin pola pikir sendiri, perbaiki komunikasi, lebih hati-hati saat ngomong. Tetep aja zon...

Kenapa sih harus nyeni banget jadi orang

Hot damn. It's 2025 and I'm writing on this blog again. Nothing big has changed since the last time you heard from me. Still a writer, still on jobs, still living with the parents, in Jakarta, with very little money saved. What have changed is a heart more acquainted with grief and a more sober look at life. This could be a good thing. It means that I am more grounded and realistic. But, I've also lost the energy to dream nor to planning forward. All I pray for is stability. Damned stability. Like that wasn't the very first thing I bid farewell to when I decided to pursue the arts. Shows my age, huh? I'm losing my spunk and yearning for naps.  It's apparent now why singers have restaurants and random businesses running in the background. This life in the entertainment and creative industry is very much a "here today gone tomorrow" cycle. Relevancy is everything and productivity move people forward. If they stop creating, stop being on screen, stop bein...

I'm done being high and dry

Image
Awal tahun kemarin aku jatuh hati dengan seseorang dan hari ini aku mempertanyakan apakah lebih baik berteman aja dengan pria ini. Lucu ya, betapa cepatnya hati ini bisa berubah. Di satu sisi aku lega logika ku sudah kembali mencuat, naik ke permukaan laut endorfin yang perlahan surut. Realitasnya, pasang yang surut menunjukkan kotornya pantai hatiku. Banyak sisa-sisa sampah dari masa lalu; ngerasa nggak layak dapet perhatian, takut ditinggal, takut ditolak, takut disakiti. Hal-hal yang ku kira sudah ku buang jauh-jauh. Ternyata membuang ide dari pikiran dengan menghancurkan ide itu berbeda. Selama 2 minggu aku bersihin sampah-sampah ini. Aku ganti ketakutan ku dengan kata-kata Tuhan yang menyatakan aku berharga di matanya, mulia bahkan (yesaya 43:4). Aku terima kata-kataNya yang bilang "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal" kalau di bahasa inggrisnya "I have loved you with an everlasting love". Sudah terjadi, sudah ku alami, dan akan selalu Ia tunjukkan pad...

Why am I anxious?

Image
Photo by Nils Schirmer on Unsplash Gue benci banget sama anxiety. Dimulai dari otak yang bilang "lu salah banget, Jo. Kenapa lo bilang ini itu. Bakal susah kita," lalu dilanjutkan dengan jantungan dan nafas yang tersengal. Benci banget karena drama banget badan gueh. Ish. Karena gue modelan orang yang suka ngoprek diri sendiri, gue mulai memperhatikan trigger yang bikin gue anxious dan hal yang bisa gue lakukan untuk menenangkan diri. Ini hasil internal riset gue: 1. Ngecewain Orang Lain Gue suka anxious kalau ngerasa akan ngecewain orang lain dengan menolak permintaan mereka atau ngejatuhin ekspektasi mereka. Padahal ya, dalam bisnis itu kalo lo emang nggak sreg dengan partner kerja lo atau dengan hasil kerjaan lo, mending lo bilang. Komunikasi yang baik itu adalah kunci kelangsungan kerjasama kan? Secara gue banyak ketemu orang-orang baru dan ada beberapa yang nawarin kerjaan -- padahal schedule gue udah sesak banget -- gue harus sering menolak ajakan mereka. Cara terbaikn...

The Thing: Where I'm At

Image
Terakhir aku update soal "The Thing" itu di tahun 2016. 4 tahun kemudian, aku masih menulis script dan sedang menulis film ke-7 ku. Aku masih suka dengan kerjaan ini. Ngejelimet, bikin stress, tapi aku suka ngoprek-nya dan cari formulanya. Intinya, aku memang suka menyakiti diri sendiri. Menulis di tahun 2020 itu enggak gampang. Aku kehilangan dua orang yang aku sayang. Aku jauh lebih sensitif. Produktivitas berkurang dan self-consciousness bertambah berkali-kali lipat. Hal ini bikin capek dan nulis jadi proses yang lebih lama. Aku tau aku butuh liburan dan tahun 2021/2022 memang seharusnya jadi tahun sabbatical ku. Ada satu produser yang bilang gini saat aku ngasih tau aku mau cabut 1 tahunan. Nggak plek-plek sih, paraphrase aja: 'the industry moves so fast. You may be forgotten by the time you're back.' Well, aku sama sekali nggak takut. Malah, kalau aku nggak menikmati hidup dan berkembang dalam dunia personalku, ceritaku bakal gini-gini terus. Untuk pertumbuha...

Selamat tahun baru

Sekarang pukul 1.47 pagi. Aku ada tugas yang harus diselesaikan, sekitar 50 halaman menunggak, tapi aku habiskan sekian jam untuk menelepon teman-teman dan keluarga, mengucapkan selamat tahun baru, lalu nonton Before Sunrise karena aku pengen. Orang yang ku harapkan ngirim ucapan selamat tahun baru nggak ngucapin balik. Iya, aku udah ucapin duluan. Oh well, memang dia nggak hidup di dunia online. Aku mengerti. 2020 penuh dengan pertarungan melawan kenegatifan diriku sendiri. Walau di luar otak ruwet ini hidup rasanya indah-indah aja, aman, sehat, nggak banyak kehebohan selain miskin karena semua harga sembako dan listrik naik. Namun, kesendirian pandemi bener-bener menggerogoti hati ini. Ternyata aku nggak suka hidup tanpa teman, tanpa dipeluk, tanpa ngobrol sama orang lain. Bersyukur ada adikku yang tinggal sementara di rumah. Kalau enggak, aku bener-bener jadi gila.  2021 aku akan lebih terbuka, lebih sering video call'an sama temen dan message mereka secara random. Nggak perlu a...

Kalimat yang Sering Ku Dengar Saat Single

Image
Photo by  Tinh Nguyen "Aku nyusul kamu, ya!" Nggak tau udah berapa orang yang ngomong gitu. Belum pernah aku didatengin, diketuk pintunya, disambut pulang padahal dia yang di luar dan aku yang di dalam rumah. "Gue ngerasa, I'm going to be alone for a long time. Makanya gue mau enjoy aja sekarang, Jo." Satu temen cewek bilang gitu. Bukan dengan nada pesimis, tapi dengan contentment, keterbukaan. Kita bicarain film cewek yang enggak ngomongin cowok karena mereka nggak nambahin apa-apa ke cerita.  Aku pengen ada cowok yang nambahin sesuatu ke ceritaku. "Persiapkan dirimu aja, Han." Mungkin yang keempat kalinya bulan ini, ke-123 sejak aku tinggal lagi di rumah. Makasih, Mam, enggak menuntut dan menanyakan waktu. Cuma sekali pertanyaan itu keluar, tapi bukan dari Nyokap. Dari Bokap. "Kamu udah ada yang diseleksi?" Ya, itu kata yang dipake Bokap, "seleksi". Kayak aku juri-nya, bukan yang diseleksi. Senangnya punya Ayah yang bisa nyuntikin...

Quietness is Elusive

Image
Quietness is a luxury. In a world where people strive to be significant in 15 seconds, where a Tik Tok trend lasted a week-long before turning obsolete. The digital noise is getting so loud even when you're all alone in your room. Quietness is easily forgotten. What even is the sound of your heart? A faint whisper swallowed by the tappings of likes and comments. Quietness is sitting down and letting your body speaks. The very throbbing sound of blood boiling in the veins. Quietness is taking 5 minutes to write this, never distracted by the chiming of tweets and the posts I could make as an insta story which is not true. Quietness will soon make a comeback once we're all deprived of the energy to respond. Once we went haywire by the tiniest enticement. Once we combusted into the air, into dark sad fumes, overwhelmed by stimulus. Quietness is not me yet but fuck I need some.

Beneran Bukan Wibu!

Image
"Wah, ternyata kamu wibu!" atau "Lo closeted otaku, ya?" Kalimat-kalimat ini sering gue dengar dari teman-teman yang mengira gue nggak nonton anime. Seakan ada anak muda di Indonesia yang enggak nonton Anime. Permisi, gue bukan dua-duanya deh. Coba gue jelasin. Pertama-tama mari kita selaraskan arti dari 2 kata barusan. Menurut mbah Google, --ya, gue harus googling 2 kata ini saat pertama kali disebutkan ke gue karena gue blas nggak tau-- Wibu atau Weeaboo atau Weebs adalah orang yang suka banget sama Anime dan kultur Jepang sampe sering menganggap rendah hal-hal di luar itu. Sedangkan Otaku adalah orang yang sangat menggandrungi hobinya sampe stuck di rumah, nggak punya social life. Hobinya bisa macem-macem, tapi zaman sekarang konotasinya adalah anime freak. Oke, sejaun ini udah jelas? Bagus. Selayaknya banyak orang Indonesia, gue tumbuh besar dengan kartun jepang sebagai tontonan favorit di TV. Terkadang, anime adalah satu-satunya jenis tontonan anak kecil selain...